Monday, December 24, 2018

# mommy

Pengalaman Operasi Caesar

Courtesy by pixabay
Assalamu'alaikum...



Wah, sudah lama sekali blog ini gak ditulis. Kalo rumah mungkin sudah berhantu dan sawangan kali yak... Maklumlah, baru jadi ibu baru, saya harus beradaptasi dengan keadaan baru juga.


Saya ingin bercerita tentang pengalaman operasi caesar saya sekitar kurang lebih 5 bulan yang lalu. Masih terlintas dibenak saya betapa hari itu hari yang menegangkan, penuh rasa takut dan bahagia. Takut dengan rasa sakit dan bahagia karena akan bertemu malaikat kecil yang sudah lama ditunggu selama 10 bulan. Ya, saya hamil 39 minggu lewat 3 hari.

Waktu itu perkiraan kelahiran putri saya 7 Juli 2018, tapi setelah ditunggu-tunggu ternyata dia lahir tanggal 23 Juli. Saya tidak panik karena dokter memberi tahu bahwa kelahiran bayi bisa jadi 2 minggu lebih cepat atau lebih lambat dari hari perkiraan lahir. Dan bayi siap dilahirkan ketika berusia 36-40 minggu. Dan pada masa hampir 10 bulan itu bayi dalam perut saya pun masih aktif bergerak, jadi saya benar-benar tunggu hingga kontraksi.

Hari itu sekitar pukul 01.00 dini hari saya sudah keluar tanda berupa bercak darah bercampur lendir ketika saya pipis tengah malam. Saya sadar bahwa saya akan segera melahirkan karena sudah banyak bertanya pada teman-teman yang sudah lebih dulu merasakan persalinan. Sekitar pukul 3 sampai 4 dini hari itu saya mulai merasakan kontraksi ringan. Sejak seminggu sebelumnya saya sudah merasakan debay udah mulai nyodok-nyodok dari dalam ke arah vagina karena waktunya memang sudah dekat. Mertua saya bilang karena dia lagi nyari jalan lahir. Waktu itu saya tidur di rumah mertua. Saya katakan saja apa yang saya rasakan. Jam 7 pagi saya dibawa ke rumah sakit oleh ibu mertua beserta suami.

Ketika sampai di Rumah Sakit Islam Arafah Jambi, saya langsung masuk ke UGD karena melahirkan merupakan salah satu keadaan darurat. Suami saya mendaftarkan langsung saya sebagai pasien melahirkan. Saya didorong dengan kursi roda ke ruang bersalin. Bidan pun mengecek vagina saya dan ternyata masih bukaan 2. Dan ternyata untuk pasien BPJS, peraturan rumah sakit menyatakan bahwa bisa menggunakan BPJS jika sudah bukaan 4 ke atas. Akhirnya saya disuruh pulang oleh bidan. Bidan mengatakan lebih baik pulang untuk menghindari stress. Karena di ruang bersalin itu keadaannya penuh dengan kepanikan. Ketika ibu yang akan melahirkan mendengar suara teriakan ibu lain yang sedang ngeden, kita bisa stress sebelum finish. Akan muncul rasa takut karena efek sugesti.

Jauh sebelum persalinan suami saya sudah mencari rumah sakit islam yang tidak ada perawat pria yang bisa melihat aurat saya. Dan rumah sakit yang kami pilih adalah Rumah Sakit Islam Arafah Jambi. Sejak awal saya dirawat tidak ada perawat pria yang merawat ibu hamil dan pasca lahiran. Adapun mereka hanya bertugas mengantar dan membantu mengangkut pasien pasca operasi. Selebihnya hanya perawat perempuan yang merawat saya.

Selama hamil saya beberapa kali berkonsultasi dengan dr. Eka F Malau  di prakteknya di Apotek Sari Indah dan dengan dr. Sicilia di Klinik Tanjung Lumut Kota Jambi. Pernah juga sekali dengan dr. Suhair. Saya memilih berkonsultasi dengan dokter perempuan karena lebih nyaman ketika bertanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan hal intim karena sesama perempuan. Meskipun tidak ada dokter kandungan saya di rumah sakit itu, suami saya tetap merujuk saya ke rumah sakit islam karena beliau berprinsip dalam keadaan darurat saja kita bisa dengan dokter pria dan selagi masih ada pilihan, suami saya tidak mengizinkan saya ditangani dengan dokter pria. Tapi mungkin tidak semuanya sependapat. It's ok. This is just our opinion.


Courtesy by pixabay
Lanjut ya...

Sekitar jam 13.00 siang sehabis zuhur, kontraksi terus terjadi sejak pagi. Rasanya kok tak berhenti ya... Bukankah kontraksi normal terjadi selang 15 menit sekali, kemudian 10 menit sekali, dan selanjutnya 5 menit sekali. Sejak pagi kontraksi saya rasanya tak ada selang selingnya, sakit terus menerus. Dan ketika saya cek ke kamar mandi sewaktu mau pipis darah bergumpal-gumpal keluar dari vagina saya dan akhirnya saya menggunakan pembalut. Rupanya saya kembar darah. Karena sakit yang gak berhenti juga, saya pikir saya udah mau melahirkan. Sebelum ke rumah sakit saya disuruh makan telur ayam kampung yang dicampur minyak sama mertua. Saya gak tau apa efeknya. Katanya sih biar melahirkannya lebih mudah. Gak tau deh pernah ada penelitiannya atau nggak. Cuma ya karena nahan sakit, ya nurut aja. Berharap segala rasa sakit segera berakhir 😅😅😅

Tiba di rumah sakit, ternyata masih bukaan 2 mau masuk ke bukaan 3. Saya disuruh pulang ke rumah lagi. Untung rumah sakitnya deket rumah mertua. Selama menunggu kontraksi saya tak punya selera makan. Yang saya rasakan hanya sakit sampe ke ubun-ubun. Sampe habis ashar saya sudah tak tahan lagi, darah bergumpal-gumpal terus keluar, saya minta antar ke rumah sakit untuk yang ketiga kalinya. Dan dikasih telur ayam kampung mentah ang dicampur minyak lagi... (Kebayang gak rasanya?)Tiba di rumah sakit rupanya sudah bukaan 4. Akhirnya pihak rumah sakit menyuruh suami saya untuk mendaftarkan nama saya. Hmm... rupanya pihak rumah sakit menyuruh menunggu kontraksi di rumah itu tujuannya baik kok. Mereka cuma tidak ingin pasien yang belum melahirkan ini ketakutan kalo ada pasien lain yang lagi teriak-teriak ngeden. Takutnya malah stress...

Sampai habis maghrib saya menunggu di ruang bersalin tanpa ditemani siapapun. Sesekali mertua saya melihat kondisi saya bergantian dengan suami. Ketika suami masuk, saya cuma bisa menggenggam tangannya keras-keras menahan sakit. Bidan menyuruh saya tidur miring ke kiri untuk mempercepat proses kontraksi, tapi saya tidak tahan dan memilih jalan-jalan supaya tidak begitu sakit. Tapi malah kena marah... 😂


Saya sudah berusaha supaya bisa lahiran normal. Saya rajin jalan kaki, sudah rajin jongkok, sudah nunggu baby hingga merasakan kontraksi, padahal kehamilan sudah memasuki minggu ke - 40, sudah terjadi pengapuran juga di rahim saya. Setelah bayi lahir, orang enak aja bilang saya gak sabar. Sudah gak sabar gimana lagi coba, nunggu kontraksi 15 jam, ketuban darah, tensi tinggi... Apalagi yang bisa dilakukan? Nunggu tensi turun? Ketuban aja udah pecah. Semakin naik bukaan, semakin sakit, tensi semakin tinggi. Saya nggak tau ya, apa tensi saya itu karena saya nahan sakit, atau karena saya makan telur ayam kampung 2 butir sebelum ke rumah sakit saya nggak tau. Yang jelas hari itu saya sudah benar-benar berjuang namun apa daya kalau ternyata akan berakhir di meja operasi. Kalaupun lahiran di bidan, dengan kondisi seperti saya itu, bakal dirujuk ke rumah sakit juga kok. Dan prosesnya malah lebih ribet lagi.

Pertimbangan saya lahiran di rumah sakit bukan tanpa alasan. Saya belajar dari pengalaman ibu saya 27 tahun silam. Awalnya dikirainnya bakal lahiran normal seperti ibu-ibu pada umunya, ternyata ibu saya harus 3 kali pindah tempat  karena terjadi masalah saat melahirkan. Yang bikin repot itu mondar-mandir dan administrasinya. Mana jaman dulu gak punya kendaraan, angkot juga masih susah, ojek gak ada. Nah ceritanya ibu saya awalnya lahiran di bidan, ternyata saya tak kunjung lahir, dirujuklah ke rumah sakit swasta terdekat, ternyata harus caesar, jika tidak mungkin saya dan ibu sudah tak ada sekarang. Karena pada saat itu biayanya sangat mahal, akhirnya dirujuk kembali ke rumah sakit umum. Dalam keadaan kontraksi itulah ibu saya harus berjuang berpindah-pindah. Padahal jika langsung ke rumah sakit kan langsung ada penanganan. 

Saya sempat dicekcoki omongan kalo lahiran di rumah sakit itu pasti bakal caesar. Sempat debat juga dengan mertua biar lahiran di bidan aja yang sabar. Ya mereka gak mengalami apa yang ibu saya alami sih jadi mungkin pendapatnya karena mereka gak tau. Sebenarnya kalo ak ada indikasi, dokter juga gak mau kok sembarangan operasi orang. Melahirkan kan keadaan darurat. Kalo dibilang lahiran di rumah sakit pasti bakal operasi karena dokter gak sabar, kok teman-teman saya banyak yang lahiran normal ya di rumah sakit? Kalo lahiran di bidan pasti bakal diusahakan normal, kok banyak juga yang dirujuk.

Saya bukan tidak pro ke bidan, tapi saya punya latar belakang kondisi yang rumit dari ibu saya dulu. Jadi saya gak mau ambil resiko untuk memaksakan lahiran normal jika ternyata kondisi saya juga rumit ketika melahirkan waktu itu. Menurut saya, mau lahiran di bidan ataupun di rumah sakit, lihat riwayat orang tua kita dulu bagaimana pengalamannya. Jika ibu kita melahirkan mudah, InsyaAllah kita juga bakal melahirkan mudah. Tapi jika punya riwayat yang cukup sulit mungkin akan lebih baik lagi mempertimbangkan untuk melahirkan di rumah sakit saja karena ketika ada masalah langsung ditangani dengan cepat karena disamping alat-alatnya lengkap, tenaga medis juga banyak, dan hemat waktu.


Courtesy by pixabay
Nah, sekitar jam 8 malam saya masuk ruang operasi, sudah berganti pakaian operasi, saya didudukkan di meja operasi. Bayangan saya ruang operasi itu seram, banyak benda tajam, dan gelap. Ternyata ruang operasi tak semenyeramkan itu. Ruangannya bersih, terang, bau obat, dan semua petugas kesehatan sudah siap dengan tugasnya masing-masing. Satu pengalaman saya sewaktu mau dibius itu, jarum anestesi yang masuk ke tulang belakang saya patah 😅. Mungkin karena saya terlalu tegang kali ya... Saat dibaringkan kaki saya mulai berat untuk digerakkan, suhu panas mulai memasuki tenggorokan dan suara mesin jantung terdengar di antara percakapan dokter saat itu. 

Saya benar-benar pasrah, yang saya bayangkan waktu itu, ruang operasinya kok gak kayak di drama Korea itu ya... menegangkan... Saya mendengar dentingan benda tajam atau mungkin seperti pisau dan lain sebagainya berbunyi. Sesekali suara cairan disedot. 15 menit setelah rasa tegang itu, terdengar suara bayi yang menangis paling kencang malam itu. Perawat membersihkan anak saya dan meletakkannya di dada saya. Tak terasa air mata saya menetes karena haru. Rindu yang sudah lama terpendam seolah terbayar sudah dengan lahirnya seorang Arumi Nafasya. Gadis mungil yang kini sudah berusia 5 bulan, bersamanya saya melewati hari-hari penantian. Dan sekarag, tiap kali menatap wajahnya, ada kebahagaan yang tak pernah bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ya... hingga hari ini, hanya rasa syukur yang ingin selalu saya katakan kepada Tuhan...

Ya Allah... terima kasih untuk hadirnya seorang bayi mungil yang kau percayakan kepadaku, dan terima kasih untuk suami yang baik yang selalu hadir dalam setiap suka dukaku...

Alhamdulillah... 😊😊

No comments: