Friday, December 28, 2018

# hobby

Resensi Novel "Rindu" - Tere Liye

Courtesy by pixabay
Data buku
Judul novel     : Rindu
Pengarang      : Darwis Tere Liye
Penerbit         : Republika
Tahun terbit  : 2014
Tebal buku     : 544 halaman

"Rindu"...
Apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika membaca novel berjudul "Rindu"?

Mungkin seperti suatu suasana tentang cinta, atau mungkin seperti eforia sebuah perasaan yang menggambarkan tentang dua orang kekasih hati yang sedang kasmaran terpisah jarak antara ruang dan waktu. Ya, itulah yang saya rasakan pertama kali melihat novel berjudul "Rindu" ini. Awalnya tak tertarik, biasa saja, dan hanya ingin mencoba membaca. Tapi begitu saya masuk di halaman pertama, mengikuti alur cerita tiap bagiannya, selalu saya ingin tau apa kelanjutannya. Selalu ada rasa penasaran ini bagaimana ya kelanjutannya?

Ini adalah novel Tere Liye yang pertama saya baca. Novel ini bercerita tentang sebuah perjalanan haji. Tidak disebutkan secara jelas di novel itu tahun berapa perjalanan haji itu terjadi, yang jelas perjalanan haji itu masih menggunakan kapal uap Blitar Holland milik pemerintahan Belanda. Mungkin sekitar tahun 1800-an. Perjalanan haji itu dimulai dari pelabuhan Makasar, Surabaya, Semarang, Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh, Samudra Hindia, Srilanka, dan kemudian Jeddah. Di novel itu dituliskan bahwa perjalanan haji kala itu memakan waktu sekitar 6 minggu atau sekitar 2 bulan. Lebih cepat dari menggunakan kapal layar.


Penampakan kapal uap saat musim haji kala itu
Courtesy by Replubika.co.id

Di novel ini, semua tokoh punya ceritanya masing-masing. Peran utama dalam novel ini adalah Gurutta Ahmad Karaeng seorang ulama besar dari Makassar, seorang penulis, juga seorang guru. Dia banyak membantu dalam penyelesaian konflik di novel ini. Beliau menjadi tempat bertanya orang-orang di sekitarnya dalam menyelesaikan berbagai masalah. Namun ada di satu titik, beliau tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. ketika beliau merasa buntu dalam menulis, tak menemukan ide karena merasa belum ikhlas dalam membagi ilmu. Beliau merasa masih memiliki kepentingan di dalamnya. Dan seorang Ambo Uleng, tokoh pendukung yang cukup banyak mendapat perhatian dalam novel inilah yang seketika menyadarkannya tentang arti ikhlas yang sesungguhnya.

Novel ini cukup seru untuk dinikmati. Ketika membaca novel ini, saya seolah merasa ada dalam situasi itu dan berada di dalam alur ceritanya. Dari novel inilah saya tau bagaimana proses keberangkat haji orang-orang zaman dulu menggunakan kapal uap. Di novel ini juga diceritakan tentang seluk beluk mesin kapal uap, cara kerjanya, dan gambaran ruangan yang ada di kapal uap tergambar jelas lewar alur cerita yang terjadi begitu saja. Detail dan menyenangkan. Saya yang tak pernah tau rasanya travelling dengan kapal uap, jadi tau karena membaca novel ini. Diceritakan pula pada masa ini betapa kayanya pedagang Indonesia karena cukup banyak yang mampu berangkat haji dengan uang yang tak sedikit.

Dan dari alur cerita kita jadi tau bagaimana perlakuan pemerintahan Belanda terhadap kaum pribumi, namun ternyata tak semuanya rasis, ada juga yang menghargai ulama dan kalangan atas. Ya karena ulama dan kaum bangsawan termasuk golongan strata atas sih kalo menurut saya... Jadi lebih dihargai.

Diceritakan di novel tersebut hari demi hari perjalanan, kehidupan di dalam kapal, dan pertemuan-pertemuan dengan berbagai suku di Indonesia. Seru, lucu, sedih, dan juga penuh semangat.

Ambo Uleng, tokoh pendukung utama yang terlihat bersinar dalam cerita tersebut. Awalnya, dia melamar bekerja di perusahaan kapal angkutan haji itu untuk lari dari kenyataan. Kenyataan pahit bahwa dia harus merasakan pahitnya ditinggal kekasih. Tak ada persiapan apapun, begitu wawancara dengan kapten kapal, hari itu juga dia diminta untuk berlayar. Dia begitu misterius di hadapan kapten kapal. Dia bahkan bersedia tak digaji, dia hanya ingin pergi dari Makassar sejauh mungkin. Patah hati mampu membuat pria hitam manis itu galau berkepanjangan, hatinya tak kuat menerima kenyataan itu. Di kapal itulah Ambo Uleng bertemu dengan sosok Gurutta Ahmad Karaeng, Kapten Philip, keluarga Daeng Andipati, eyang kakung Slamet dan eyang putri yang kisah cintanya begitu romantis sampai akhir hayat, Ruben teman sekamarnya sesama pegawai kapal, Bonda Upe dan suaminya yang seorang cina muslim. 

Daeng Andipati, seorang bangsawan Makassar yang merupakan pengusaha rempah punya handil besar juga dalam cerita ini. Daeng memiliki 2 putri cantik dan lucu yang menjadikan cerita ini penuh warna. Ana dan Elsa namanya. Ketika kapal uap Blitar Holland berlabuh di Surabaya, terjadi perang yang membuat Ana, putri Daeng menjadi korban  riuhnya bom kala itu. Ana terinjak-injak lalu lalang kerisuhan yang terjadi di Pasar Turi Surabaya ketika berbelanja bersama Daeng. Ketika insiden pemberontakan itu terjadi, Ambo Uleng menjadi penyelamat dan pahlawan karena telah menyelamatkan Ana sampai kembali kapal. Karena rasa terima kasih yang tak terhingga, Daeng sampai akan membeli kapal untuk memperkerjakan Ambo Uleng, namun Ambo Uleng tak menerima tawaran itu.

Bonda Upe dan suami juga memiliki cerita historis tersendiri. Bonda Upe adalah guru ngaji anak-anak ketika di kapal. Gurutta Ahmad Karaenglah yang membuka sekolah sementara untuk anak-anak di kapal selama perjalanan haji agar mereka tak ketinggalan pelajaran. Ada pelajaran agama tiap subuh yang diisi oleh Gurutta sendiri, dilanjutkan dengan pelajaran umum oleh jemaah haji dari Semarang yang merupakan seorang guru, dan juga pelajaran mengaji oleh Bonda Upe. Bonda Upe punya masa lalu yang kelam. Dahulu dia seorang wanita malam yang sudah bertaubat. Suaminya adalah sosok pahlawan di matanya, yang telah menyelamatkannya dari dunia yang kelam itu. Konflik terjadi ketika rombongan Gurutta, keluarga Daeng Andipati, Bonda Upe dan suami berkunjung ke warung soto betawi yang ada di Batavia saat kapal berlabuh ke pelabuhan Batavia. Rahasia satu per satu terbongkar ketika Bonda Upe bertemu dengan teman lamanya yang juga sesama wanita malam di warung soto itu. Ketika temannya berteriak meneriakinya, Bonda Upe merasa malu jika orang-orang tau masa lalunya. Namun orang baik tak pernah membahas aib, rombongan Gurutta tak banyak bicara sampai akhirnya Bonda Upe sendiri yang menceritakan masa lalunya kepada Gurutta untuk mencari solusi dari kegalauan perasaannya.

Bonda Upe menjadi gadis malam karena digadai oleh ayahnya sendiri yang terlilit hutang judi. Dari Surabaya, Bonda Upe diboyong ke Batavia untuk melayani pejabat-pejabat tinggi Batavia. Dulu, Bonda Upe adalah gadis malam tercantik yang banyak diminati para pejabat. Sebelum menjadi wanita malam, Bonda Upe bersama para gadis lainnya dikurung dalam satu ruangan, hanya diberi makan seadanya. Yang bertahan untuk tak mau jadi gadis malam akan mati dalam kurungan dan saling berebut makanan layaknya binatang. Pada akhirnya satu per satu gadis yang tak tahan dengan kondisi itu memilih untuk menjadi gadis malam atas keinginannya sendiri. Yang  berusaha kabur dan melawan akan disiksa mati-matian di dalam kurungan dengan disaksikan gadis lain untuk menjadi pelajaran. Bonda Upe adalah gadis terakhir yang tak punya pilihan dan akhirnya memilih untuk menjadi "cabo". Bertahun berlalu, akhirnya suaminyalah yang menyelamatkannya ketika terjadi kerusuhan di Batavia. Mereka kabur sejauh mungkin sampai ke Palu untuk menyelamatkan diri dan akhirnya menikah.

Jika novel ini berisi tentang cinta, ada cerita dua insan yang bersama sampai akhir hayat. Yaitu cerita cinta Eyang Kakung Slamet dan Eyang Putri. Eyang kakung selalu bersemangat menceritakan perjalanan cintanya selama ini bersama Eyang Putri. Meskipun Eyang Kakung sudah pikun, ia tak pernah lupa bagaimana saat pertama kali melamar Eyang Putri. Kemana-mana Eyang Kakung selalu bersama Eyang Putri, bergandengan tangan bersama hingga membuat seluruh orang kapal baper. Sampai suatu ketika Eyang Putri jatuh sakit dan meninggal di dalam kamarnya, Eyang Kakung menjadi stress berat. Eyang Kakung harus merelakan jenazah Eyang Putri ditenggelamkan ke dasar laut sesuai dengan peraturan pelayaran yang telah ditetapkan pemerintah. Padahal mimpi Eyang Kakung adalah jenazah mereka berdua bersandingan. Sampai beberapa hari kepergian Eyang Putri, siapapun tak ada yang mampu membujuknya makan. Berhari-hari lamanya Eyang Kakung hanya menangisi kepergian sang kekasih hati. Sampai pada akhirnya Gurutta Ahmad Karaenglah yang mampu membujuknya untuk move on. Jodoh dan cinta sejati Eyang Kakung disusulnya, sepulang haji Eyang Kakung jatuh sakit di atas kapal dan meninggal dunia dan jenazahnya pun ditenggelamkan di Samudra Hindia. Jika kita mampu melihat, jenazahnya bersandingan dengan jenazah Eyang Putri di dasar laut. Cinta sejati yang tak lekang oleh waktu. Jika Tuhan berkehendak, semuanya dapat terjadi.

Ada pula konflik ketika kapal Blitar Holland gagal berlayar karena terjadi kerusakan pada mesin uap. Ambo Uleng maju sebagai peran pendukung utama mampu menjalankan kapal uap ini menjadi kapal layar berkat keterampilannya menjadi pemuda pelayar dari Makassar. Kapten Philip memilihnya untuk menjadi karyawan di pelayaran kapal uap karena pengalamannya yang pernah menjalankan kapal phinisi. Tak disangka ketika masalah pelayaran terjadi, dialah yang maju menyelamatkan ratusan jemaah haji yang hampir terkatung-katung di laut. Kecepatan kapal uap yang diubah menjadi kapal layar ini ternyata bergerak lebih cepat dari perkiraan sehingga pelayaran dapat dilanjutkan sesuai jadwal. Tak sampai disitu, ketika melewati perairan Laut Somalia, kapal penumpang jemaah haji juga dikepung perompak dari Somalia. Lagi-lagi, Ambo Uleng maju sebagai pahlawan menumpas kejahatan di atas kapal dengan berbagai teknik beladiri yang dikuasainya selama menjadi pelayar di laut Indonesia.

Ambo Uleng, seorang gagah yang ternyata sangat rapuh di dalam hatinya, pada akhir cerita, dialah yang memenangkan hati sang kekasih yang dikiranya pergi meninggalkanya. Kekasihnya berkata padanya bahwa dia telah dijodohkan dengan seseorang yang lebih tinggi derajatnya dari seorang Ambo Uleng. Pertemuan Ambo Uleng dengan Gurutta menjadikan Ambo Uleng sebagai sosok murid yang layak untuk berjodoh dengan seorang gadis bangsawan Makassar. Ambo Uleng yang tadinya tak bisa megaji belajar bersama-anak-anak di Kapal, pelan-pelan dia belajar shalat, dan akhirnya ikut berangkat haji bersama Gurutta Ahmad Karaeng. Dan ternyata oh ternyata, kekasih hati yang pernah meninggalkannya karena akan dijodohkan dengan orang yang lebih terdidik, rupanya dijodohkan dengan Ambo Uleng, murid Gurutta yang telah dididik habis oleh Gurutta. Ya, jodoh tak kemana, mau lari sejauh apapun, jika berjodoh akan bersama jua...




No comments: